ANALISA
BREAK-EVEN
Makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas
kelompok
mata kuliah Manajemen Keuangan II
Dosen
Pengampu :
Dian Wismarein, SE. MM
Drs. Mohammad Masruri, SE. MM
Disusun Oleh :
Kelompok 9 V.C
1.
Abid Fairus Falih 2012-11-262
2.
Fahrul Rosyid 2012-11-269
3.
Tunggul Bayu Aditama 2012-11-275
4.
Devi Aramita 2012-11-276
5.
Eka Neta Putri 2012-11-277
Progdi Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas muria kudus
2014
ANALISA
BREAK-EVEN
22.1. Pengertian Analisa Break-Even
Analisa Break-Even adalah suatu teknik analsisa untuk
mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan dan volume
kegiatan. Oleh karena analisa tersebut mempelajari hubungan antara biaya
keuntungan – volume kegiatan, maka analisa tersebut sering pula disebut “Cost –
Profit – Volume analysis” (C.P.V. analysis). Dalam perencanaan keuntungan,
analisa break-even merupakan “profit-planning approach” yang mendasarkan pada
hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan penjualan (revenue).
Apabila suatu perusahaan hanya mempunyai biaya variable
saja, maka tidak akan muncul masalah break-even dalam perusahaan tersebut.
Masalah break-even baru muncul apabila suatu perusahaan di samping mempunyai
biaya variable juga mempunyai biaya tetap. Besarnya biaya variable secara
totalitas akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan volume produksi, sedangkan
besarnya biaya tetap secara totalitas tidak mengalami perubahan meskipun ada
perubahan volume produksi.
Adapun biaya yang
termasuk golongan biaya variable pada umumnya adalah bahan mentah, upah buruh
langsung (direct labor), komisi penjualan. Sedangkan yang termasuk golongan
biaya tetap pada umunya adalah depresiasi aktiva tetap, sewa, bunga utang, gaji
pegawai, gaji pinjaman, gaji staf research, dan biaya kantor.
Karena adanya unsure variable di satu pihak dan unsure
tetap di lain pihak, maka dapat terjadi bahwa suatu perusahaan dengan volume
produksi tertentu menderita kerugian, karena penghasilan penjualannya hanya
menutup biaya variable dan sebagaian saja dari biaya tetap. Ini berarti bahwa
bagian dari penghasilan penjualan yang tersedia untuk menutup biaya tetap tidak
cukup untuk menutup biaya tetapnya. Penghasilan penjualan setelah dikurangi
biaya variable merupakan bagian dari
penghasilan penjualan yang tersedia untuk m entupu biaya tetap biasanya
dinamakan “contribution margin” atau “contribution to fixed cost”. Apabila
contribution margin lebih besar daripada biaya tetap, berarti penghasilan
penjualan lebih besar daripada biaya total, maka perusahaan mendapatkan
keuuntungan. Berhubung dengan itumaka sangatlah penting bagi pimpinan suatu
perusahaan untuk mengetahui pada volume kegiatan atau volume produksi penjualan
berapa penghasilan penjualan dapat tetap menutup biaya totalnya untuk dapat
menghindarkan kerugian. Volume penjualan di mana penghasilannya (revenue) tepat
sama besarnya dengan biaya totalnya, sehingga perusahaan tidak mendapatkan
keuntungan atau menderita kerugian dinamakan “break-even pint”. Apabila digunakan konsep “contribution margin”
maka break – even point akan tercapai pada volume penjualan dimana contribution
margin-nya tepat sama besarnya dengan biaya tetap-nya. Oleh karena analisa
break-even itu mempelajari pertimbangan antara “revenue minus biaya variable
(=contribution to fixed cost) di satu pihak dengan biaya tetap dilain pihak, maka
sering dikatakan bahwa analisa break even merupakan salah satu alat untuk
mempelajari “operating leverage”. Operating leverage terjadi setiap waktu di
mana suatu perusahaan mempunyai biaya tetap yang harus ditutup batapapun besar
volume kegiatannya. “leverage” dapat didefinisikan sebagai penggunaan aktiva
atau dana untuk penggunaan mana perusahaan harus menutup biaya tetap atau
membayar beban tetap. Ada dua macam
leverage, yaitu “operating leverage”
dan “vinancial leverage”. Operating
leverage bersangkutan dengan penggunaan aktiva atau operasinya perusahaan yang
disertai dengan biaya tetap. Dikatakan bahwa operating leverage itu
menghasilkan leverage yang “favorable” atau positif kalau revenue setelah
dikurangi biaya variable (=contribution to fixed cost) lebih besar daripada
biaya tetapnya.
Dikatakan bahwa operasi
perusahaan yang disertai dengan biaya tetap itu (operating leverage) merugikan
atau menghasilkan leverage yang negative kalau “contribution to fixed cost”-nya
lebih kecil daripada biaya tetapnya. Dikatakan bahwa operasi perusahaan yang
disertai dengan biaya tetap itu dalam keadaan break-even kalau “contribution to
fixed cost”-nya tepat sama besarnya dengan biaya tetapnya sebagaimana telah
diuraikan di muka. Uraian mengenai financial leverage akan diberikan dalam Bab
23.
Dalam mengadakan analisa break-even, digunakan
asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
a.
Biaya di dalam perusahaan dibagi dalam
golongan biaya variable dan golongan biaya tetap.
b.
Besarnya biaya variable secara totalitas
berubah-ubah secara proporsionil dengan volume produksi/penjualan. Ini berarti
bahwa biaya variable per unitnya adalah tetap sama.
c.
Besarnya biaya tetap secara titalitas
tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi/penjualan. Ini berarti
bahwa biaya tetap per unitnya berubah-ubah karena adanya perubahan volume
kegiatan.
d.
Harga jual per unit tidak berubah selam
periode yang dianalisa.
e.
Perusahaan hanya memproduksir satu macam
produk. Apabila diprodusir lebih dari satu macam produk, pertimbangan
penghasilan penjualan antara masing-masing produk atau “sales mix”-nya adalah
tetap konstan.
22.2. Gambar Break Even (Break-Even Chart)
Salah satu cara untuk menentukan break-even point adalah
dengan membuat gambar break-even. Dalam gambar tersebut akan Nampak garis-garis
biaya tetap, biaya total yang menggambarkan jumlah biaya tetap dan biaya
variable, dan garis penghasilan penjualan.
Besarnya volume
produksi/penjualan dalam unit Nampak pada sumbu horizontal (sumbu X) dan
besarnya biaya dan penghasilan penjualan akan Nampak pada sumbu vertical (sumbu
Y).
Dalam gambar break-even
tersebut break-even point dapat ditentukan, yaitu pada titik dimana terjadi
persilangan antara garis penghasilan penjualan dengan garis biaya total.
Apabila dari titik tersebut kita tarik garis lurus vertical ke bawah sampai
sumbu X akan nampak besarnya break-even dalam unit. Kalau dari titik itu
ditarik garis lurus horizontal ke samping sampai sumbu Y, akan nampak besarnya
break-even dalam rupiah.
Dalam menggambarkan
garis biaya tetap dalam gambar break-even itu dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan menggambarkan garis biaya tetap secara horizontal sejajar dengan
sumbu X, atau dengan menggambarkan garis biaya tetap sejajar dengan garis biaya
variable. Pada cara yang kedua, besarnya “contribution margin” akan nampak pada
gambar break-even tersebut.
Untuk lebih jelasnya
dapatlah diberikan contoh di bawah ini.
Contoh
22.1.
Suatu perusahaan bekerja dengan biaya tetap sebesar
Rp300.000,00. Biaya variable per unit Rp40,00.
Harga jual per unit
Rp100,00.
Kapasitas produksi
maksimal 10.000 unit.
Dengan dua cara dalam
menggambarkan garis biaya tetap, atas dasar data tersebut, kita dapat membuat
dua gambar break-even seperti nampak di bawah ini.
Dari
kedua gambar tersebut di atas nampak bahwa break-even point tercapai pada
volume penjualan sebesar Rp500.000,00 atau dinyatakan dalam unit sebanyak 5.000
unit. Pada gambar 22.1.b. adalah lebih baik karena pada gambar tersebut nampak
konsep “contribution margin”. Dalam gambar tersebut break-even point tercapai
pada volume kegiatan di mana contribution margin (yaitu penghasilan penjualan
minus biaya variable) tepat sama besarnya dengan biaya tetap, yaitu pada volume
penjualan Rp500.000,00 atau dalam unit sebanyak 5.000 unit.
Perhitungan
break-even point lebih tepat dapat dilakukan dengan cara “trial and error”
(serba coba-coba) atau dengan menggunakan rumus-rumus aljabar.
22.3.
Perhitungan Break-Even Point dengan
Cara “Trial and Error”
Perhitungan
break-even point dapat dilakukan dengan cara coba-coba, yaitu dengan menghitung
keuntungan operasi dari suatu volume produksi/penjualan tertentu. Apabila
perhitungan tersebut menghasilkan keuntungan maka diambil volume
penjualan/produksi yang lebih rendah. Apabila dengan mengambil suatu volume penjualan
tertentu, perusahaan menderita kerugian maka kita mengambil volume
penjualan/produksi yang lebih besar. Demikian dilakukan seterusnya hingga
dicapai volume penjualan/produksi di mana penghasilan penjualan tepat sama
dengan besarnya biaya total.
Misalkan dari contoh
22.1. diambil volume produksi 6.000 unit. Dengan volume produksi 6.000 unit
maka dapat dihitung keuntungan operasi sebagai berikut:
(6.000
x Rp100,00) – Rp300.000,00 + (6.000 x Rp40,00) ) =
Rp600.000,00 – (Rp300.000,00 + Rp240.000,00) = Rp60.000,00
Pada volume produksi
6.000 unit perusahaan masih mendapatkan keuntungan. Ini berarti bahwa
break-even pointnya terletak di bawah 6.000 unit.
Misalkan di ambil 4.000
unit, dan hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:
(4.000
x Rp100,00) – Rp300.000,00 + (4.000 x Rp40,00) =
Rp400.000,00 – (Rp300.000,00 + Rp160.000,00) = Rp-60.000,00
Pada volume 4.000 unit
ternyata diderita kerugian sebesar
Rp60.000,00. Ini berarti bahwa break-even poinnya lebih besar dari 4.00 unit.
Misalkan kita ambil 5.000 unit, dan hasil perhitungnnya adalah sebagai berikut:
(5.000
x Rp100,00) – (Rp300.000,00 + Rp200.000,00) =
Rp500.000,00 – (Rp300.000,00 + Rp200.000,00) = Rp0,00.
Ternyata pada volume
produksi/penjualan 5.000 unit tercapai break-even point yaitu yang di mana keuntungan
netonya sama dengan nol.
22.4. Perhitungan Break-Even Point dengan
Menggunakan Rumus Aljabar
Perhitungan break-even
point dengan menggunakan rumus aljabar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a) Atas
dasar unit
b) Atas
dasar sales dalam rupiah.
a) Perhitungan
break-even point atas dasar unit dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
di mana
P = harga jual per unit
V = biaya variable per unit
FC = biaya tetap
Q = jumlah unit/kualitas produk yang
dihasilkan dan dijual.
Dari
contoh 22.1. dapat dihitung secara langsung dalam unit dengan menggunakan rumus
tersebut di atas dan hasilnya sebagai berikut.
(dalam
unit)
Rumus
tersebut pada dasarnya adalah penggunaan dari konsep “contribution margin” per
unit (yaitu selisih antara harga jual per unit dengan biaya variable per unit).
Dari
contoh tersebut “contribution margin” atau “contribution to fixed cost” per
unitnya adalah Rp60,00 (yaitu Rp100,00 – Rp40,00). Karena besarnya biaya tetap
yang harus ditutup adalah Rp300.000,00 sedangkan sumbangan dana setiap unit produk untuk menutup biaya tetap sebesar
Rp60,00 makauntuk menutup biaya sebesar Rp300.000,00 diperlukan jumlah produk
yang harus terjual sebanyak
b)
Perhitungan break-even point atas dasar
sales dalam rupiah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus aljabar sebagai
berikut:
Di
mana:
FC = biaya tetap
VC = biaya variable
S = volume penjualan.
Dari
contoh 22.1. di muka, sales pada break-even dinyatakn dalam rupiah dapat
dihitung dengan menggunakan rumus tersebut sebagai berikut:
Dari
perhitungan diatas dapat diketahui bahwa volume penjualan pada break-even
dinyatakan dalam rupiah adalah sebesar Rp500.000,00. Apabila volume penjualan
tersebut di bagi dengan harga jual per unit, hasilnya menunjukkan break-even
point dalam unit.
rumus
tersebut pada dasarnya adalah juga penggunaan konsep “Contribution margin”
tetapi atas dasar persentase dari sales Persentase besarnya contribution margin
dihitung dari sales dinamakan “Contribution margin ratio”. Dalam contoh
tersebut besarnya contribution margin ratio adalah:
Atau
60%.
Contribution
margin ratio sebesar 60% berarti bahwa setiap perubahan penghasilan penjualan
menyebabkan perubahan “contribution to fixed cost” sebesar 60% dari perubahan
penjualan tersebut.
Dalam
analisa BEP perlu pula dipahami konsep “margin of Safety”. Besranya margin of
safety dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Margin
of safety =
Margin
of safety merupakan angka yang menunjukkan jarak antara penjualan yang
direncanakan atau dibudgetkan (budgeted Sales) dengan penjualan pada
break-even. Dengan demikian maka margin of safety adalah juga menggambarkan
batas jarak, di mana kalau berkurangnya penjualan melampaui batas jarak
tersebut, perusahaan akan menderita kerugian.
Dari
contoh 22.1. besarnya margin of safety dapat dihitung sebagai berikut:
angka
margin of safety sebesar 50% menunjukkan kalau jumlah penjualan yang nyata
berkurang atau menyimpang lebih besar dari 50% (dari penjualan yang
direncanakan) perusahaan akan menderita kerugian. Kalau berkurangnya penjualan
hanya 40% dari yang direncanakan, perusahaan belum menderita kerugian. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa makin kecilnya margin of safety berarti makin
cepat perusahaan menderita kerugian dalam hal ada penurunan jumlah penjualan
yang nyata.
Untuk
membedakan batas penyimpanan yang dapat menimbulkan kerugian dinyatakan dalam
angka absolute dan dalam angka relative, kadang-kadang digunakan dua macam
istilah. Untuk batas penyimpangan yang absolute digunakan istilah “margin of safety” dan untuk penyimpangan
dalam angka relative (dalam persentase dari sales) digunakan istilah “margin of safety ratio”. Untuk contoh
tersebut di atas besarnya “margin of safety” adalah Rp500.000,00 dan besarnya
“margin of safety ratio” adalah 50%.
22.5. Efek
Perubahan Faktor Terhadap BEP
1.
Efek
Perubahan Harga Jual Per Unit dan Jumlah Biaya Tetap Terhadap BEP
Sebagaimana
diuraikan di muka, dalam analisa BEP digunakan asumsi antara lain bahwa harga
jual per unit tetap konstan. Sekarang bagaimana halnya kalau ada perubahan
harga jual per unit (P)?
Apabila
P naik maka ini akan mempunyai efek yang menguntungkan karena BEPnya akan
turun. Dalam gambar BEP, titik break-even-nya akan bergeser ke kiri, yang
berarti untuk tercapainya BEP cukup diperlukan jumlah produk yang lebih kecil.
Dari
contoh 22.1. misalkan harga jual per unitnya naik dari Rp100,00 menjadi
Rp160,00
Dengan
adanya kenaikan P tersebut, BEPnya akan berubah menjadi lebih kecil baik
dinyatakan dalam rupiah maupun dalam unit. BEP yang baru sesudah ada kenaikan
harga tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
BEP
yang baru mengalami penurunan sebesar 20% dalam penjualan dinyatakan dalam
rupiah atau 50% dinyatakan dalam unit yang terjual.
Pergeseran
BEP dalam gambar nampak seperti di bawah ini.
Demikian
pula sebaliknya kalau harga jual per unitnya turun, maka BEPnya akan makin
besar baik dinyatakan dalam rupiah maupun dalam unit. Ini berarti bahwa untuk
mencapai BEP diperlukan jumlah produk yang lebih banyak. Misalkan harga jual
per unit turun dari Rp100,00 menjadi Rp80,00
BEP
yang baru akan menjadi:
dalam
analisa BEP juga digunakan asumsi bahwa jumlah biaya tetap secara totalitas
adalah konstan. Apabila ada perubahan besarnya jumlah biaya tetap maka BEP-nya
pun akan berubah.
Bertambahnya
jumlah biaya tetap akan menaikkan BEP, demikian pula sebaliknya berkurangnya
jumlah biaya tetap akan mengakibatkan turunnya BEP.
Sekarang bagaimana halnya kalau
perubahan sekaligus menyangkut perubahan harga jual per unit dan perubahan
jumlah biaya tetap. Dari contoh 22.1. dimisalkan perusahaan akan memperbesar
produksinya dari 10.000 unit menjadi 15.000 unit. Untuk dapat melaksanakan
tambahan produksi tersebut diperkirakan aka nada tambahan biaya tetap sebesar
Rp100.000,00. Harga jual per unit diperkirakan akan turun dari Rp100,00 menjado
Rp90,00. Berapa besarnya BEP baru sesudah ada perluasan produksi?
Pemecahan:
2.
Efek
Perubahan “Sales Mix” terhadap BEP
Salah
satu asumsi dasar dalam analisa BEP bagi suatu perusahaan yang menghasilkan dua
macam produk ayau lebih ialah tidak adanya perubahan dalam “sales-mix”nya.
“sales-mix” menggambarkan perimbangan “sales revenue” antara beberapa macam
produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan.
Apabila
ada perubahan sales-mix, maka BEP-nya secara totalitas akan berubah. Untuk
lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 22.2.
Suatu perusahaan yang menghasilkan
dua macam produk, yaitu produk A dan B, di mana data finansialnya nampak di
bawah ini:
Produk
A
|
Produk
B
|
Total
|
Sales :
20.000 unit Rp200.000,00
V.C.60% Rp120.000,00
F.C. Rp 40.000,00
Biaya total Rp160.000,00
Keuntungan
operasi Rp 40.000,00
|
8.000 unit Rp200.000,00
(40%) Rp
80.000,00
Rp
80.000,00
Rp160.000,00
Rp
40.000,00
|
Rp400.000,00
Rp200.000,00
Rp120.000,00
Rp320.000,00
Rp 80.000,00
|
Dari
dana tersebut diketahui bahwa:
Sales
Mix (A:B) = 1 : 1 yaitu 200.000 :200.000
Product
mix = 2.5 : 1 yaitu 20.000 : 8.000
Sales
Mix A : B = 1: 1
Sales
produk A=1/2 X Rp240.000,00 = Rp120.000,00
produk
mix A : B = 120.000 : 4.800 = 2,5 : 1
sesuai dengan ketentuan
product mix tersebut diatas.
BEP dalam “multiple
product” tidak berarti bahwa masing-masing produk harus dalam keadaan break-even.
Dapat terjadi bahwa pada BEP total,
suatu produk menderita kerugian, dan produk lain mendapatkan keuntungan
sehingga secara keseluruhan perusahaan tidak mendapatkan keuntungan ataupun
kerugian. Dari contoh di atas keuntungan dan kerugian dari kedua macam produk
adalah sebagai berikut:
Produk A
|
Produk B
|
Total
|
Sales Rp120.000,00
V.C.
(60%) Rp 72.000,00
F.C. Rp 40.000,00
Biaya
Total Rp 112.000,00
Keuntungan
Neto
(kerugian) Rp
8.000,00
|
Rp120.000,00
(40%) Rp 48.000,00
Rp 80.000,00
Rp120.000,00
(Rp 8.000,00)
|
Rp240.000,00
Rp120.000,00
Rp120.000,00
Rp240.000,00
Rp0
|
Bagaimana pengaruhnya
terhadap BEPkalau ada perubahan “sales mix”
a)
Misalkan jumlah produk A bertambah dengan
50% sedeangkan jumlah produk B tetap tidak berubah. Perhitungan BEP nampak
sebagai berikut:
Produk A
|
Produk B
|
Total
|
Sales
30.000
unit Rp300.000,00
V.C. Rp180.000,00
Biaya
Total Rp 40.000,00
Keuntungan Rp220.000,00
Neto Rp 80.000,00
|
8.000 unit Rp200.000,00
(40%) Rp
80.000,00
Rp 80.000,00
Rp160.000,00
Rp 40.000,00
|
Rp500.000,00
Rp260.000,00
Rp120.000,00
Rp380.000,00
Rp120.000,00
|
Sales mix = 1.5 : 1
b)
Misalkan jumlah produk B bertambah dengan
50% sedangkan jumlah produk A tetap tidak berubah, perhitungan BEP-nya nampak
sebagai berikut:
Produk A
|
Produk B
|
Total
|
Sales Rp200.000,00
F.C.
(602/3) Rp120.000,00
F.C. Rp 40.000,00
Biaya
total Rp160.000,00
Keuntungan
neto Rp 40.000,00
|
12.000 unit Rp300.000,00
(40%) Rp120.000,00
Rp 80.000,00
Rp200.000,00
Rp100.000,00
|
Rp500.000,00
Rp240.000,00
Rp120.000,00
Rp360.000,00
Rp140.000,00
|
Sales mix = 1:1.5 atau
0,67 :1
Keadaan sebelum dan
sesudah adanya perubahan “sales-mix” tersebut dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:
|
Sebelum ada perubahan
|
Produk A bertambah dengan 50%
|
Produk B bertambah dengan 50%
|
a)
Sales mix (A:B)
b)
Keuntungan neto
c)
Persentase perubahan keuntungan
(bertambah-berkurang)
d)
BEP
|
1 : 1
Rp80.000,00
Rp240.000,00
|
1,5 : 1
Rp120.000,00
50%
Rp250.000,00
|
0,67 : 1
Rp140.000,00
75%
Rp230.000,00
|
Analisa tersebut diatas
menunjukkan bahwa lebih baik perusahaan memperbanyak jumlah produk B, karena
dengan bertambahnya jumlah produk B, (1) keuntungannya lebih desar dan (2)
break-even point-nya lebih rendah.
22.6. Penentuan Penjualan Minimal
Apabila kita telah menetapkan besarnya keuntungan atau
profit margin yang diinginkan, maka perlulah ditentukan berapa besarnya
penjualan minimal yang harus dicapai untuk memungkinkan diperolehnbya
keuntungan yang diinginkan tersebut.
Untuk itu dapat
diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh
22.3.
Pada tahun 1985 suatu perusahaan adalah ”break-even”.
Perusahaan bekerja dengan biaya tetap sebesar Rp 120.000,00 dan dalam tahun
tersebut mempunyaipenghasilan penjualan sebesar Rp200.000,00. Keadaan tahun
1986 diperkirakan lebih baik dan pimpinan perusahaan menetapkan target
keuntungan sebesar Rp30.000,00. Berapa besarnya penjualan minimal yang harus
dicapai untuk dapat mencapai target keuntungan tersebut?
Dalam keadaan BEP
besarnya biaya total adalah tepat sama besarnya dengan penghasilan oenjualan
Sales = VC + VC
VC = sales – FC
VC = Rp200.000,00 – Rp 120.000,00 =
Rp80.000,00
Variable expense ratio
(biaya variable dinyatakan dalam persentase dari sales)
Setelah diketahui
besarnya “variable expense ratio” maka dapatlah ditentukan besarnya sales
minimal tersebut dengan cara sebagai berikut:
Jadi untuk memperoleh
keuntungan sebesar Rp30.000,00perusahaan harus dapat memproduksi dan menjual
produknya sebesar Rp250.000,00
Dibuktikan:
Penjualan Rp250.000,00
Biaya
variable (40%) Rp100.000,00
Biaya
tetap Rp120.000,00
Biaya
Total Rp220.000,00
Keuntungan Rp30.000,00
Misalkan perusahaan
menetapkan target keuntungan dinyatakan dalam “profit margin” sebesar 20%, maka
besarnya sales minimal dapat dihitung sebagai berikut:
Sales minimal = x
0,6 x – 0,2 x =
Rp120.000,00
Atau dengan cara:
= Rp300.000,00
Dibuktikan:
Penjualan Rp300.000,00
Biaya
variable (40%) Rp120.000,00
Biaya tetap Rp120.000,00
Biaya total Rp240.000,00
Keuntungan Rp
60.000,00
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Bambang.1997.(Dasar-Dasar
Pembelanjaan Perusahaan) Yogyakarta:BPFE Yogjakarta.
Halo mbk netha sy boleh minta kontaknya ga..? Sy ada perlu untuk referensi skripsi
BalasHapus